Simalungun. BongkarKasusNews.com – Kepala desa (Pangulu) memiliki tanggung jawab besar dalam mengelola Dana Desa demi tercapainya pembangunan yang transparan dan akuntabel di tingkat desa. Salah satu kewajiban kepala desa adalah memajang baliho transparansi Dana Desa di wilayahnya. Kewajiban ini sejalan dengan amanat Undang-Undang No. 16 Tahun 2014, khususnya pada Pasal 26 ayat 4, yang menegaskan bahwa kepala desa bertanggung jawab memberikan informasi secara terbuka kepada masyarakat. Jika kepala desa gagal menjalankan kewajiban ini, sanksi berat, termasuk pemberhentian dari jabatan, dapat diterapkan.
Ketua Lembaga Habonaron Do Bona (LHBD) Simalungun, Walmen Damanik, menyoroti maraknya kepala desa (Pangulu) yang abai terhadap kewajiban ini. “Memajang baliho transparansi Dana Desa bukan sekadar formalitas, tetapi wujud komitmen kepala desa (Pangulu) dalam menunjukkan bagaimana Dana Desa dikelola. Jika ini tidak dilakukan, masyarakat berhak mempertanyakan integritas kepala desa tersebut,” ujar W. Damanik.
Ia menegaskan bahwa dasar hukum untuk menjatuhkan sanksi sudah kuat. Pasal 28 dalam UU No. 16 Tahun 2014 menyebutkan bahwa Kepala Desa yang tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) dan Pasal 27 dikenai sanksi administratif berupa teguran
lisan dan/atau teguran tertulis. Dalam hal sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan
tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.
Pasa Undang Undang tersebut Kepala desa yang tidak menjalankan tugas pokok, termasuk langkah transparansi, dapat dikenakan berbagai sanksi administrasi hingga pemberhentian dari jabatan. Sanksi mencerminkan pentingnya integritas seorang kepala desa dalam mengelola anggaran yang menyangkut kepentingan bersama.
Ketidakhadiran baliho transparansi Dana Desa tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga memupuskan hak masyarakat untuk mengetahui ke mana alokasi anggaran desa digunakan. Transparansi adalah pilar utama untuk membangun kepercayaan antara pemerintah desa dan warganya. “Tidak ada ruang untuk sikap tertutup. Masyarakat berhak tahu dari mana sumber dana desa, berapa besarannya, dan bagaimana itu digunakan. Jika kepala desa menutupi informasi ini, itu adalah tanda bahaya,” lanjut W. Damanik, di Pamatang Raya, Senin (03/02/2025)
Lebih lanjut, pemasangan baliho transparansi Dana Desa biasanya mencakup rincian penggunaan dana, seperti program pembangunan fisik, pemberdayaan masyarakat, dan bantuan sosial. Jika informasi ini tidak tersedia, masyarakat sulit melakukan pengawasan, yang membuka peluang terjadinya penyalahgunaan anggaran.
Kepala desa diimbau untuk segera memasang baliho transparansi tersebut sebagai bentuk ketaatan hukum sekaligus cara menjaga kepercayaan masyarakat. Sebaliknya, jika tidak, bukan hanya ancaman sanksi hukum yang akan mereka hadapi, tetapi juga kehilangan legitimasi di mata warganya. Walmen Damanik menutup pernyataannya dengan ajakan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk proaktif melaporkan jika mendapati kasus kepala desa yang tidak transparan.
Dengan langkah tegas ini, diharapkan pengelolaan Dana Desa semakin akuntabel sehingga manfaatnya benar-benar dirasakan oleh masyarakat. Pemerintah desa yang jujur dan transparan adalah kunci utama dalam membangun desa yang maju dan mandiri. (Redaksi)